Kredit Ilustrasi: nasional.kompas.com |
Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses politik partisan yang melintas dalam sejarah. Perkembangan demokrasi di Indoensia dimulai saat kemerdekaan, seperti berdirinya Republik Indonesia Serikat. Kemudian tenggelam dalam kediktatoran kepemimpinan Soekarno dalam Orde Lama, dan Soeharto dalam Orde Baru. Dan demokrasi kembali menguak pasca reformasi 1998. Yah, Pasca reformasi, rakyat baru menikmati nafas kehidupan demokrasi dalam pemahaman, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Proses reformasi politik di Indonesia pasca tumbangnya Soeharto pada Mei 1998 serentak membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang baik. Melalui hajatan Pemilihan Umum (Pemilu), rakyat baru dapat memilih atau menentukan pemimpin yang sesuai dengan harapan mereka sendiri. Nafas demokrasi pasca reformasi itu juga, terkhusus yang terhembus melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik membuka “pintu politik” bagi kelompok yang memiliki nilai lebih (kapitalis) ramai-ramai mendirikan Partai Politik.
Dalam pemahaman Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika merujuk pada pemahaman Lincoln ini, maka demokrasi harus berjalan sesuai dengan aturannya, yakni pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Perwakilan rakyat yang dipilih secara lansung melalui Pemilu mestinya juga menjalankan amanah keterwakilan itu sesuai dengan nilai demokrasi.
Kritik Demokrasi
Sejak “kelahirannya” di negeri Yunani, demokrasi sebenarnya sudah cacat. Pasalnya, Aristoteles, Sokrates, dan Palto mencerca habis-habisan tentang sistemnya. Ignas Kleden, dalam bukunya “Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan” menuliskan bahwa semenjak kemunculan pertama kali, kira-kira 5 abat sebelum tarik Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan. Bukan saja para aristokrat yang merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintah oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates.
Menurut Socrates, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Socrates memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selelau memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. (Ignas Kleden, 2004)
Sementara itu, Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dan sebagai sebuah sistem yang bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa. Juga demokrasi menurutnya, rentan akan anarkisme. Selain Aristoteles dan dan Socrates, filsuf Plato (472-347 SM) juga mengkritik demokrasi. Filsuf ini menyebut liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka. Dalam buku “The Republik” Plato menuliskan, “mereka adalah orang-orang mereka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai”.
Jika kita menilik lebih jauh pernyataan para filsuf di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pemimpin yang dipilih oleh rakyat secara demokratis, tidak selalu orang-orang yang kompeten dalam memimpin atau membela nasib mereka.
Penulis juga ingin menarik benang merahnya bahwa demokrasi kita di Indonesia seperti sebuah sistem yang melanggengkan kepentingan para elit partai politik. Menjelang Pilkada, Pilgub ataupun Pilpres misalnya, semua partai politik sibuk memverifikasi data-data kepengurusan dari tingkat lokal sampai pada tingkat nasional untuk diiukutsertakan dalam bursa pencalonan.
Di satu sisi, demokrasi dan partai politik adalah satu paket politik yang tidak bisa dipisahkan. Sebab demokrasi adalah sebuah mimpi besar untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, sementara partai politik adalah sebagai wadah untuk mewujudkan mimpi besar tersebut. Namun, di sisi lain, partai politik mengkapitalisasi demokrasi dengan membangun sistem yang mengikat dan memaksa bahwa demokrasi harus mengikuti aturan main partai politik dengan jargon untuk kepentingan rakyat.
Hemat penulis, rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai “tumbal politik”. Sistem kapitalis itulah yang melanggengkan penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan. Keadaan demikian terjadi, berawal dari sistem Pemilu dalam demokrasi kapitalis –baik untuk memilih kepada daerah atau kepala pemerintahan pusat– yang meniscayakan biaya yang sangat besar. Mereka yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh para pemodal, bisa dipastikan tidak akan bisa lolos dalam bursa pencalonan. Sehingga kolaborasi, hubungan “mutualisme” antara pengusaha atau investor, dengan calon penguasa mesti terjadi. Di sinilah visi, misi, kredibilitas, dan idealisme calon kepala pemerintahan pada akhirnya akan tersandra.
Wajah Demokrasi Menuju Era Kapitalistik
Melalui tulisan ini, penulis hendak menelisik geliat partai politik pada tahap penjaringan, yang katanya tanpa mahar; dan saat penjajakan pendapat, yang bilangnya bukan penggiringan opini publik. Ini bermaksud agar rakyat pemilih (demos) dapat menggunakan hak politiknya secara arif dan bijaksana.
Kontestasi demokrasi elektoral yang kini dijerat dalam kuasa demokrasi berwatak kapitalistik telah menghilangkan nilai luhur dan subtansi demokrasi, yakni “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Kini, amanah tersebut tidak benar-benar diimplementasikan dalam panggung demokrasi. Bergesernya nilai-nilai itu tak lepas dari ulah para politikus yang tak punya konsep, nilai, dan semangat perjuangan untuk kepentingan rakyat.
Rakyat sebagai basis legitimasi kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif sejatinya merasakan bias positif kekuasaan itu, seperti keadilan sosial dan kesejahteraan. Namun, nyatanya bias positif kekuasaan itu hanya dinikmati oleh segelintir elite, yakni penyokong dana kampanye, seperti investor atau pemodal, yah kaum kapitalis tepatnya. Inilah bias demokrasi yang tercekik oleh kaum kapitalis atau pemodal. Pemimpin lebih melayani mereka dari pada rakyat kecil.
Rakyat Jadi Tumbal
Dalam pragmatisme politik yang menjadi penting adalah kekuasaan. Sehingga partisipasi politik hanya merupakan manifestasi dari keinginan untuk berkuasa. Idealnya, berkuasa hanyalah instrumen agar dapat menciptakan tatanan masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai dan faham yang dianut oleh partai politik. Namun, karena dorong berkuasa begitu kuat, maka “kekuasaan” menjadi tujuan akhir dari berpolitik. Dengan demikian tak heran jika mereka mati-matian berupaya untuk mempertahankan kekuasaan.
Penulis menilai bahwa demi mempertahankan kekuasaan inilah “rakyat dikorbankan”. Tidak hanya itu, ideologi partai pun kadang juga digadai meskipun untuk membangun koalisi bersama dengan partai-partai lain. Yah, ini lumrah untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Dunia politik itu sarat dengan diskursus tentang bagaimana berkuasa, sekaligus mengabaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Penulis ingin mengajak pembaca untuk menelusuri pilkada 2020.
Melalui pemberitaan media daring, salah satu sistem yang begitu trend adalah praktik “buka lapak” yang sudah mulai digelar pada tingkat daerah Provinsi, Kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada serentak 2020. Ketua Partai Politik pada tingkat Dewan Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai politik merespon baik atas inisiatif dari Cagub dan Cawagub, Cabup dan Cawabup karena tanpa kerja keras untuk menjaring Kader. Pola buka “lapak” politik ini hampir tidak pernah dirubah. Karena tinggal duduk manis saja.
Pola lama ini adalah sebagai peluang atau pintu masuk mahar politik. Di mana setiap calon yang mendaftar nantinya akan diseleksi. Biasanya, proses seleksi ini yang menarik praktek jual-beli, dan tawar menawar. Siapa yang menawarkan dengan nominal besar maka dialah yang diusung oleh partai tersebut. Soal dia berkualitas itu urusan belakangan, yang penting pelincin duluan.
Hemat penulis, salah satu cara untuk mengurangi praktek Jual beli partai (mahar politik) adalah mengubah pola “buka lapak”. Dengan mengubah pola ini setidaknya mengurangi praktek mafia partai demi memberantas atau menghapus soal mahar politik.
Idealnya Demokrasi
Partai Politik dan demokrasi adalah mesin pencetak pemipin yang populis. Bukan mesin yang mencetak orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Juga idealnya partai politik merupakan wadah untuk edukasi politik terhadap rakyat.
Di Indonesia, sekian banyak orang yang berusaha untuk memengaruhi kebijakan publik. Mereka semakin sadar bahwa berpolitik bukan monopoli kaum elit politik belaka. Mereka semakin tahu bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik yang sekian lama hanya ditentukan oleh kaum elit partai politik. Mereka kemudian berpartisipasi untuk menentukan jalannya proses politik di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Perlu juga kita ketahui bersama bahwa salah satu poin berdirinya partai politik adalah untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam penjaringan calon pemimpin. Tahap ini, hampir tidak pernah dipraktekan oleh Partai Politik. Mestinya, pola lama ini perlu dirubah. Partai Politik harus memasang radar pada setiap kepengurusan Pimpinan Anak Cabang (PAC) sampai pada tingkat kepengurusan Ranting Partai untuk menjala atau menjaring kader yang potensial dan berintegritas serta memiliki rekam jejak dan pengalaman organisasi yang jelas dalam kancah politik.
Jika melalui penjaringan itu mendapat kader, maka itulah yang kemudian didorong oleh partai politik bersama masyarakat dengan catatan tanpa embel-embel (Mahar Politik) lagi, agar rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini tidak sekedar menjadi “tumbal politik”. Sistem ini bisa mencegah kapitalisasi demokrasi oleh mafia politik.
Penulis adalah Presidium Germas PMKRI Cabang Jakarta Timur, St. Petrus Kanisius dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur, Jakarta.
tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan oleh https://aquinasjogja.com/kala-rakyat-jadi-tumbal-demokrasi-kapitalistik/
0 Komentar