Goris Sanpai Ataripit (Foto/Istimewa) Politik memang sangat mempesona bagi siapapun. 

Konon uang tidak diketahui oleh manusia bahkan peradabannya. Manusia hanya mengenal sistem “barter”, menukar barang dengan barang. Namun dalam perjalanan saat ini uang mengabstrasi pikiran manusia bahwa ia adalah segalanya dan segala sesuatu butuh uang.  Juga termasuk dalam dunia politik. Seorang politisi akan memandang bahwa tak ada yang gratis dalam dunia politik semuanya serba uang. 

Politik memang sangat mempesona bagi siapapun. Struktur pemaknaan dan tatanan sosial seharusnya menjadi dasar komitmen berdemokrasi. Tetapi globalisasi berkembang, uang justru menjadi dominasi untuk memaknai politik. Degradasi moral dan etika politik menjadi mahal harganya untuk dilaksanakan. Masyarakat dipermainkan dan diprovokasi oleh para politisi. Sama halnya dengan apa yang pernah disinggung oleh Rudi Lemanto dalam buku karya apiknya, presiden setengah manusia dan presiden setengah bintang dalam kajian filsafat kekuasaan bahwa “kekuatan dibalik pencalonan dan pemilihan para elit merupakan kelas penguasa tertentu yang memiliki kekuatan dalam bidang ekonomi dan politik”.

Dalam konteks Asmat, bahwa politik di Kabupaten Asmat sebagiannya hanya digunakan sebagai alat simulasi atau instrumen untuk merekayasa kekuasaan yang dipegang oleh kelompok tertentu. Kita tidak bisa membedakan mana seorang birokrasi yang menjalankan fungsi administrasi publik dan mana pejabat yang menjalankan fungsi politik. Kita tidak bisa memahami pelaku birokrasi dan mana seorang politisi. Yang berakibat pada refleksi mendasarnya adalah inikah senjakala dunia politik dan birokrasi kita di Kabupaten Asmat. Contoh pada saat memberikan bantuan dana covid-19 pemimpin kepala daerah ikut hadir, padahal saat ini pemimpin tersebut sedang ikut pilkada sebagai kandidat atau peserta pemilu. Anenya lagi bahwa ada simpatisan dari kandidat tersebut melakukan kegiatan bagi kasih dengan membagikan makanan kotak untuk orang-orang dewasa, bubur kacang ijo bagi anak-anak sekaligus dengan pembagian masker sebelum penyaluran bantuan dana covid-19 itu disalurkan. Memanfaatkan situasi susah untuk tujuan politik dengan mecetak baliho covid-19 dengan gambar kepada daerah, ini salah satu hal yang terjadi dikabupaten Asmat. 

Mungkin Harold D. Lasswell benar dalam karya apiknya Pshychopathology and Politics dengan sangat dalam merumuskan, bahwa kegiatan politik kerap merupakan produk dari “alasan-alasan pribadi yang mengatasnamakan kegiatan umum dan dirasionalisasikan menurut jasa umum”. Rumusan ini persis dengan situasi kita saat ini di kabupaten Asmat yang sangat menonjol ketika menjelang pilkada 2020. Politik itu sangat dekat dengan urusan perebutan kekuasaan, mempertahankan kepentingan, termasuk pertengkaran dan konflik karena dasarnya uang. 

Penulis merasa bahwa dana bantuaan covid-19 itu sangat berpengaruh bagi seluruh masyarakat Asmat yang akan memilih dalam pilkada serentak tahun 2020. Dalam pemanfaatan pemberian bantuan sosial oleh kepala daerah terkait upaya percepatan penangan covid-19 itu kepentingan praktis. “Syawat kekuasaan lebih menonjol ketimbang rasa kemanusiaan yang tak memiliki solidaritas kemanusiaan”, terhadap rasa simpati dan empati hanyalah konsep usang. “Situasi wabah atau bencana memang sering menjadi ajang pencitraan para calon”. 

Saat ini seluruh masyarakat Asmat seperti mengalami krisis pemimpin di kabupaten ini yang bisa membuat masyarakat menjadi mati karena keadaan tidak lagi dimaknai sebagi proses menata hidup bersama karena kematian tata kelolah pemerintah sebagai otoritas dalam menentukan arah pembangunan suatu wilayah secara administrasi. 

Indeks Kepuasan Masyarakat Asmat

Dalam konteks ini kita berbicara tentang penyaluran bantuan dana covid-19, yang disalurkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Asmat kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten Asmat atau pengambil keputusan seolah-olah paham betul tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat atau apa yang membuat masyarakat bahagia.  Sementara masyarakat Kabupaten Asmat memiliki persepsi sendiri tentang apa dan bagaimana situasi yang merupakan kebahagiaan mereka. Contoh, ketika diberikan bantuan dana covid-19 kepada masyarakat, bukan uang diberikan langsung dan dipegang oleh masyarakat tetapi berupah barang dengan syarat harus ambil sesuai dengan jumlah uang misalnya Rp. 600.000. Padahal masyayarakat menginginkan agar bantuan dana tersebut langsung diberikan ditangan masyarakat karena punya kebutuhan lain yang harus dibeli sesuai kebutuhan hidupnya. 

Akhir-akhir ini kita dipertontonkan dengan fenomena yang sangat mengecewakan warga Masyarakat Asmat atas kebijakan pemerintah dan tatanan sosial diobrak-abrik oleh segelintir orang. Dengan terjadi adanya fenomena tersebut memang sangat kelihatan atas ketidakpuasan masyarakat Asmat kepada pemerintah daerah atas bantuan dana covid-19 yang salurkan. Memang masyarakat kabupaten Asmat tahu bahwa yang mendapatkan bantuan dana covid-19 ini tidak diterima oleh semua masyarakat kabupaten Asmat. Tetapi masyarakat yang mendapatkan bantuan pun merasa tidak puas karena dana yang disalurkan oleh pemerintah daerah kabupaten Asmat tidak pada sasaran. 

Prinsip Etis objektif dan aplikatif

Dalam konteks ini kita berbicara tentang bagaimana penyaluran dana bantuan covid-19 itu tepat pada sasaran, sehingga aturan atau putusan yang dibuat oleh pemerintah kabupaten Asmat dapat aplikasikan dengan baik, yang dimana sesuai dengan keinginan masyarakat. Pertanyaannya adalah kebijakan seperti apakah yang digunakan pemerintah dalam penyaluran bantuan dana tersebut? Kalau kebijakan itu diputuskan diluar sistem, maka yang bekerja adalah transaksi-transaksi kekuasaan di dalam pasar gelap. Karena ini menyangkut penyaluran dana. Apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya tidak boleh melenceng dari yang sudah diputuskan diluar sistem karena itu atas kesepakatan bersama.  

Sehingga, kebijakan atau putusan dibuat oleh pemerintah tidak memuaskan bagi masyarakat secara rasional. Ketika dana bantuan covid-19 itu disalurkan bisa saja berpotensi untuk membuat perubahan sosial-politik karena pada saat menyalurkan bantuan, salah satu kandidat hadir pada saat memberikan bantuan. Ada kecenderungan untuk melahirkan suatu perubahan. Contohnya, memaksa masyarakat agar dapat memilih barang dengan jumlah uang namun uangnya itu tidak di pegang oleh masyarakat. 

Pemerintah seharusnya mengikuti keinginan masyarakat dalam penyaluran dana bantuan covid-19 secara objektif. Sehingga kebijakan atau putusan terkait penyaluran bantuan dana tersebut dapat di aplikasikan dengan baik agar dapat menjadi tolak ukur pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah situasi wabah yang terjadi saat ini. 

Pemerintah daerah perlu proaktif dalam melihat situasi kehidupan masyarakat Asmat, sehingga ada kedekatan antara pemerintah daerah dengan masyarakat secara kultural.  
Maka, untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai penyelenggaran pelayanan masyarakat dalam situasi saat ini, perlu ada beberapa prinsip-prinsip yang harus ditanamkan setiap secara individu, kelompok, dan sosial.

Pertama, compasion. Artinya bahwa ada kepedulian pada situasi yang terjadi pada saat ini untuk mensejahterakan masyarakat. Kedua, nonmaleficence. Dalam hal ini untuk menghindarkan tindakan yang mengakibatkan  penderitan dan kesulitan bagi masyarakat ditengah situasi covid-19. Ketiga, beneficence. Adanya kemurahan hari pemerintah dalam mencegah dan berupaya meringankan penderitaan masyarakat, memperjuangkan kebutuhan-kebutuahan masyarakat yang membutuhkan bantuan, dan pemerintah perlu mensosialisasikan agar masyarakat Asmat merasa di bahagiakan. Keempat, Fairness. Ini menyangkut keadilan yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana mestinya masyarakat diperlakukan secara layak, memperjuangkan kesamaan hak atau kebutuhan untuk menjustifikasi perlakuan yang khusus bagi mereka yang layak menerimanya.

Dengan empat prinsip diatas akan bernilai apabila dihadapkan pada realitas akan pelayanan dan proses belajar kita dalam masyarakat akan kebutuhan hidupnya serta  membiasakan diri untuk menghadapi persoalan hidup dari seluk-beluk pranata sosial yang terjadi.  

Penulis Adalah Aktivis PMKRI Cabang Bandung St. Thomas Aquinas