Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI
Kredit Ilustrasi: Wawan Bastian |
Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pilkada) pada tahun 2020 yang digelar secara serentak di 270 daerah mejadi momentum besar dalam perkembangan domekrasi indonesia yang semakin memudar dan transaksional.
Hajatan elektoral yang kian merengsek jauh ke ruang demokrasi kapitalistik ini membuka peluang terhadap Partai Politik (selanjutnya disebut Parpol) untuk menggelar “panen raya” (politik transaksional atau mahar politik). Panen raya yang dimaksut penulis adalah politik “buka lapak” yang sering dilakukan oleh Parpol sebagai ruang transaksional atau mahar politik untuk mengumpulkan pundi-pundi partai guna untuk menjalankan aktivitas partai. Tentu ini mejadi keresahan kita bersama, bahwa nilai demokrasi telah bergeser jauh pada demorasi transaksional yang hanya bisa dinikmati oleh kaum-kaum pemoda atau yang sering kita sebut sebagai “kapitalis”.
Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses politik partisan yang melintasi dalam sejarah. Perkembangan demokrasi di Indonesia dimulai saat kemerdekaan, seperti berdirnya Republik Indonesia Serikat (republic of the united states of Indonesia) atau disingkat RIS. RIS adalah suatu Negara federasi yang berdiri pada, 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar Republik Indonesia, Bijeenkomst voor federasi overieg (BFO) dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Kemudian tenggelam dalam kediktatoran kepemimpinan Soekarno dalam Orde Lama, dan Soeharto dalam Orde Baru. Demokrasi Indonesia kembali menguak pasca reformasi 1998. Pasca reformasilah, rakyat Indonesia baru menikamti nafas kehidupan tentang demokrasi seperti yang disampaikan mediang mantan Presiden AS, Abraham Lincoln.
Pasca tumbangnya rezim Soeharto pada Mei 1998, pesta rakyat (Demokrasi) yang kian merengsek jauh ke ruang pesta pora para kaum elit politik ini seolah melanggengkan kepentinagn mereka untuk mendirikan Parpol. Kaum yang memiliki nilai lebih ini (kapitalis) menjadikan UU No. 2 Tahun tentang Partai Politik sebagai pintu masuk untuk mendirikan Parpol.
Dalam pemahaman Abraham Lincoln, Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika merujuk pada pemahaman Lincoln ini, maka demokrasi harus berjalan sesuai dengan aturannya, yakni pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertiggi berada di tangan rakyat.
Namun disisi lain, sejak kelahiranya di Yunani, Socrates mencerca habis-habisan tentang sistemnya. Ignas Kleden, dalam bukunya “Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan” menuliskan bahwa semenjak kemunculan pertama kali, kira-kira 5 abat sebelum tarik Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan. Bukan saja para aristokrat yang merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintah oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates.
Menurut Socrates, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Socrates memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selelau memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. (Ignas Kleden, 2004).
Dalam panggung demokrasi, bergesernya nilai-nilai itu (demokrasi) tak lepas dari ulah para politikus yang tak punya konsep, nilai, dan semangat perjuangan untuk kepentingan rakyat. Rakyat sebagai basis legitimasi kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif sejatinya merasakan bias positif kekuasaan itu, seperti keadilan sosial dan kesejahteraan. Namun, nyatanya bias positif kekuasaan itu hanya dinikmati oleh segelintir elite, yakni penyokong dana kampanye, seperti investor atau pemodal, yah kaum kapitalis tepatnya. Inilah bias demokrasi yang tercekik oleh kaum kapitalis atau pemodal (nilai lebih). Pemimpin lebih melayani mereka dari pada rakyat akar rumput.
Dalam pragmatisme politik yang menjadi penting adalah kekuasaan. Sehingga partisipasi politik hanya merupakan manifestasi dari keinginan untuk berkuasa. Idealnya, berkuasa hanyalah instrumen agar dapat menciptakan tatanan masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai dan faham yang dianut oleh partai politik. Namun, karena dorong berkuasa begitu kuat, maka “kekuasaan” menjadi tujuan akhir dari berpolitik. Dengan demikian tak heran jika mereka mati-matian berupaya untuk mempertahankan kekuasaan.
Penulis menilai bahwa demi mempertahankan kekuasaan inilah “rakyat dikorbankan”. Tidak hanya itu, ideologi partai pun kadang juga digadai meskipun untuk membangun koalisi bersama dengan partai-partai lain. Yah, ini lumrah untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Dunia politik itu sarat dengan diskursus tentang bagaimana berkuasa, sekaligus mengabaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
Hemat penulis, hari ini demokrasi kita adalah sebuah rumah (politik) yang tak ada pintunya, begitupun partainya. Rumah itu, dihuni oleh beberapa kelas masyarakat seperti, kelas bawah, menengah dan atas yang tak memiliki ideologi yang jelas. Kelas bawah adalah mereka yang tergolong dalam tumbal politik, kelas menengah adalah mereka yang tergolong kelompok yang melek politik, sementara kelas atas adalah kelas elit politik dan kelompok yang memiliki nilai lebih. Kemudian, demokrasi di Indonesia adalah mesin pencetak kelompok-kelompok elit politik yang hanya meladeni kepentingan kelompok-kelompok yang memiliki nilai lebih yang kemudian berpestapora diatas kelompok tumbal politik.
Pilkada serentak yang kembali digelar pada 2020 dijadwalkan pecoblosan 23 September 2020. Melalui media daring, setidaknya ada 270 daerah yang menggelar hajatan politik (Demokrasi) ini. Pilkada 2020 diikuti oleh 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) telah mengeluarkan Peraturan KPU No. 15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2020.
Salah satu sistem pendaftaran atau penjaringan calon yang sering dipraktekan oleh Parpol adalah praktik “buka lapak”. Hajatan demokrasi yang diadakan satu kali dalam lima tahun ini, Parpol selalau menawarkan sistem buka lapak, karena memang sistem ini sangat trend dan menjadi “lahan basah” untuk melanggengkan politik transaksional atau pintu masuk mahar politik. Di mana setiap calon yang mendaftar nantinya akan diseleksi. Biasanya, proses seleksi ini yang menarik praktek jual-beli, dan tawar menawar. Siapa yang menawarkan dengan nominal besar maka dialah yang diusung oleh partai tersebut. Soal dia berkualitas itu urusan belakangan, yang penting pelincin duluan.
Praktek “buka lapak” ini sudah mulai digelar pada tingkat daerah Provinsi, Kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada serentak 2020. Masing-masing Ketua Partai Politik pada tingkat Dewan Pengurus Daerah (DPD/Provinsi) dan Dewan Pengurus Cabang (DPC/Kabupaten/Kota) masing-masing partai politik merespon baik atas inisiatif dari Cagub dan Cawagub, Cabup dan Cawabup karena tanpa kerja keras untuk menjaring Kader. Pola buka “lapak” politik ini hampir tidak pernah dirubah. Karena tinggal duduk manis saja.
Mestinya, Parpol dan demokrasi adalah mesin pencetak pemipin yang populis. Bukan mesin yang mencetak orang-orang dungu, seperti yang diutara Socrates, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Juga idealnya partai politik merupakan wadah untuk edukasi politik terhadap rakyat.
Perlu juga kita ketahui bersama bahwa salah satu poin berdirinya partai politik adalah untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam penjaringan calon pemimpin. Tahapan ini, hampir tidak pernah dipraktekan oleh Partai Politik. Mestinya, pola “buka lapak” perlu dirubah. Partai Politik harus melibatkan masyarakat sebagai radar untuk melakukan penjajakan kader. Kemudian radar itu dipasang pada setiap kepengurusan partai, baik DPD, DPC, PAC dan sampai pada tingkat kepengurusan ranting partai untuk menjala atau menjaring kader yang potensial dan berintegritas serta memiliki rekam jejak dan pengalaman organisasi yang jelas dalam kancah politik.
Jika melalui penjaringan itu mendapat kader, maka itulah yang kemudian didorong oleh partai politik bersama masyarakat dengan catatan tanpa embel-embel (Mahar Politik) lagi, agar rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini tidak sekedar menjadi “tumbal politik”. Sistem ini dapat mencegah atau mengurangi praktek Jual beli partai (mahar politik). Kemudian, dengan mengubah pola “buka lapak”, setidaknya mengurangi praktek mafia partai (elit politik) demi memberantas atau menghapus soal mahar politik.
Penulis adalah Presidium Germas PMKRI Cabang Jakarta Timur, St. Petrus Kanisius dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur Jakarta.
0 Komentar