Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI
Logo Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Nasional |
Gelombang protes pasca pelantikan Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indoensia sampai hari ini tak menemui titik terang. Bahkan Ketua PP PMKRI Benidiktus Papa terkesan membentengi diri dengan menanamkan sikap “Antipati”.
Kontroversi yang berlarut ini bahkan menimbulkan cara pandang lain terhadap Ketua PP PMKRI yang terkesan otoriter dalam memimpin organisasi tak ubahnya seperti rezim orde baru di Indonesia. Padahal lahirnya nafas kebebasan berdemokrasi pada saat itu dimotori oleh Mahasiswa, dan PMKRI termasuk yang mengorganisir tumbangnya rezim Soeharto. Pada hal pria yang disapa Beni itu mendapat mandat untuk menahkodai organisasi dengan nama suci St. Thomas Aquinas dalam forum yang sangat “demokratis”.
Kembali pada soal PMKRI, Penulis sengaja mengalamatkan kata “Antipati” seperti halnya pada judul tulisan ini bahwa Ketua PP PMKRI terkesan sangat “apatis” dan menutup diri atas kritikan serta masukan dari cabang-cabang.
Disatu sisi, PMKRI adalah mesin kritik atau mitra kritis yang juga sebagai penawar solusi untuk kepentingan rakyat dan Negara. Akan tetapi yang dipertontonkan oleh pucuk pimpinan PMKRI saat ini malah abai terhadap persoalan internal.
Sebenarnya kritik merupakan hal yang sangat diperlukan demi menciptakan bonum commune. Terutama dalam mengefektifkan jalannya roda perhimpunan. Anehnya, Ketua PP PMKRI tidak memahami daya positif konstruktif kritikan. Karena itu, tidak heran jika perilaku pucuk pimpinan PMKRI tidak seimbang dengan tindakan yang dilakukan oleh kader-kader lain dalam perhimpunan.
Kritik adalah masalah penganalisian dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki pekerjaan. Secara etimologis, kritik berasal dari bahasa Yunani; clitikos-“yang membedakan” kata “clitikos” ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuno, yakni “krites” yang artinya “orang yang memberikan pendapat, beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi atau pengamatan”.
Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan seseorang pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Hemat penulis, dalam negara demokrasi, kritik dan demokrasi sejatinya adalah dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Karena kritik merupakan inti dari demokrasi, dan demokrasi merahimi kritikan. Begitupun sebaliknya bahwa PMKRI merahimi kritik hingga melahirkan kader-kader yang termasuk dalam kelompok “kritisme”. Mestinya, keberadaan pihak atau cabang-cabang yang melakukan kritik terhadap jalannya roda perhimpunan yang kita cintai ini harus di syukuri bukan di musuhi atau di petieskan persoalan yang kusut ini.
Apa Yang Dikritik?
Mari kita menelisik lebih jauh situasi yang terjadi di internal organisasi PMKRI, khususnya dinamika yang terjadi pasca pelantikan PP PMKRI St. Thomas Aquinas Periode 2020-2022, terutama terkait dengan pengangkatan personalia kepengurusan seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Mandataris MPA/Formatur Tunggal/Ketua Presidium Nomor: Ist/Kep/Formatur/2020 Tentang Personalia PP PMKRI.
Buntut dari pelantikan itu, beberapa cabang melayangkan protes dan mosi tidak percaya, bahkan ada yang mendorong untuk mengadakan Majelis Permusyawaratan Anggota Istimewa (MPA-I) kepada pria kelahiran 11 Juni 1993 itu. Namun, hingga saat ini, pria yang hobbi memainkan “Tenis Meja” atau dikenal dengan istilah “politik bola pimpong” itu belum juga merespon baik atas surat yang dilayangkan oleh beberapa cabang yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dinamika yang alot ini pun menyedot perhatian khalayak serta para kader hingga alumni PMKRI.
Merujuk pada aturan yuridis konstitusional dan yuridis operasional serta konvensi-konvensi PMKRI mestinya pria yang hobi bermain “politik pimpong” ini tidak lagi melanggar itu tersebut. Misalnya, TAP MPA Nomor 26/TAP/MPA XVIII/1994 Tentang Hubungan PMKRI dan KNPI dan Buku Saku PMKRI bagian networking poin ke 4 yang pada intinya menegaskan bahwa PMKRI bukan bagian dari KNPI dan PMKRI sejajar dengan KNPI.
Berdasarkan lampiran TAP MPA No. 12/TAP/MPA XVII/1992 Tentang Keanggotaan dan Fungsionaris Rangkap (poin 5) yang berbunyi: “Untuk organisasi kemasyarakatan dengan kategori kesamaan status, fungsi dan perangkapan anggota dan perangkapan fungsionaris tidak diperbolehkan demi terjaminnya independensi perhimpunan”.
Tidak hanya itu, TAP MPA No. 12/TAP/MPA XVII/1992 Tentang Keanggotaan dan Fungsionaris Rangkap (poin 6) yang berbunyi: “Untuk Organisasi Politik, perangkapan fungsionaris tidak diperbolehkan demi terjaminnya independensi perhimpunan” dan TAP MPA No. 13/TAP/MPA XX/1998 Tentang Revisi Ketetapan MPA No. 12/TAP/MPA XVIII/1992 Tentang Keanggotaan Rangkap Pasal 2 yang berbunyi: “Pasal 7, Bagi Anggota PMKRI yang masuk dalam struktur kepengurusan PMKRI baik ditingkat Pusat maupun Cabang/calon cabang, tidak diperkenankan menjadi anggota organisasi sosial politik”.
Dalam aturan Buku Saku yang juga bagian yang tak terpisahkan dari AD/ART sangat jelas dikatakan posisi PMKRI dannb KNPI adalah setara bahkan diatas kertas juga kita sudah sampaikan bahwa kader PMKRI tidak akan dan pernah bergabung didalamnya.
Sedangkan untuk organisai Politik, perangkapan fungsionaris tidak diperbolehkan demi terjaminnya independensi perhimpunan. Yah, kita tidak menafikan juga bahwa PMKRI adalah bagian dari “mesin pencetak kader-kader politik” yang kemudian didistribusikan di berbagai organisasi politik. Akan tetapi, jika masi kader aktif kita perlu menahan diri atau mawas diri agar tidak terlarut dan hanyut oleh arus politik saat ini.
Berdasarkan paparan diatas apakah tindakan Beni benar atau salah? Silakan para pembaca khususnya para kader-kader PMKRI yang menilainya. Penulis pun menilainya bahwa Beni telah sengaja dan secara sadar “memperkosa” konstitusi perhimpunan yang sangat dicintai oleh segenap insan perhimpunan.
Merujuk pada judul tulisan sebelumnya yang diterbitkan ikatolik.com “PP PMKRI di bawah Telapak Kaki Partai Politik” bahwa Beni dibawah pengaruh Partai Politik. Dibuktikan, hingga saat ini Paulina Citra Dewi masi aktif di kepngurusan PP PMKRI. Untuk diketahui Srikandi asal PMKRI Cabang Lampung ini masih sebagai fungsionaris Partai Demokrat merujuk pada SK DPP Partai Demokrat No: 276/SK/DPP PD/DPC/VI/2018 tertanggal 19 Juni 2018 Periode 2018-2023.
Meskipun PMKRI Cabang Lampung telah mengklarifikasi bahwa Paulina, demikian sapaan akrabnya, sudah mengundurkan diri dari Partai Demokrat. Akan tetapi dari Partai Demokrat sendiri belum mengeluarkan SK secara tertulis untuk memecatnya. Itu artinya Paulina fungsionaris rangkap, disatu sisi Ia sebagai Pengurus Pusat PMKRI.
Disisi lain, Ia fungsionaris Partai Demokrat Periode 2018-2023. Apa ini dibenarkan oleh Beni? Mikir!!!.
Penulis ingin menegaskan bahwa parpol effect sangat terasa sekali, itu terlihat Beni dengan mempetieskan kisruh ini. Melihat masih adanya cabang-cabang yang masih berpangku tangan, penulis memandang bahwa seolah-olah membiarkan kasus ini bergulir terus tanpa ada titik terang. Jika diam itu dianggap bijak, maka diamlah. Akan tetapi jangan marah jika perhimpunan ini terjatuh dalam genggaman oligarki saat ini!
Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan (Germas) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Timur St. Petrus Kanisius, (Dahulu Rayon Jatinegara).
Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan oleh ikatolik.com
0 Komentar